DI MANA ADA KEMAUAN,PASTI ADA JALAN. Tamsil kuno inilah yang mengantarkan kesuksesan bagi Gideon Hartono, pemilik Apotek K-24. Gideon lahir sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara dari keluarga tidak mampu. Kedua orangtuanya adalah penjaja kue moci dan tepung beras merah keliling dari Yogyakarta hingga Klaten, yang berjarak 45 km. "Untuk makan sehari-hari pun kami sulit. Yang bisa kami lakukan adalah berdoa tiap malam agar bisa makan besok," kenang Gideon, getir.
Keseharian Gideon kecil adalah menimbang komposisi kue moci. Ini karena baku kue moci sering naik turun. Supaya harga kue moci tidak ikut melambung, komposisinya perlu diatur. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), Gideon bahkan terjun langsung membantu orangtua menjual tepung beras merah keliling Klaten. Setelah masuk SMA Kolese de Britto, Yogyakarta, Gideon tanpa segan mengoordinasi teman-temannya menjual makanan ke calon siswa baru.
Pahitnya kehidupan di masa muda itulah yang membuat Gideon ingin menjadi dokter. Harapannya, dengan menjadi dokter, dia akan bisa membantu ekonomi keluarganya. Gideon sebenarnya ingin masuk fakultas kedokteran di Jakarta atau di Bandung. Namun, niat itu terhalang biaya. Orangtuanya tak sanggup kalau harus membiayai hidup Gideon di kota besar. "Jadi, saya memilih kuliah kedokteran di Yogyakarta saja," ujar Gideon. Karena tekadnya sudah kuat, dalam formulir seleksi ia hanya mengisi satu jenis jurusan. "Dua pilihan jurusan saya biarkan kosong, dan hanya jurusan kedokteran yang saya pilih," tutur Gideon, "Saat itulah air mata saya mengalir."
Setelah lulus kuliah pada 1990, ia tertarik menjadi dokter spesialis mata. Sayang, pemerintah Orde Baru "memangkas" kesempatan bagi warga keturunan China untuk berkembang. "Saat itu warga keturunan dihambat untuk memiliki keahlian khusus. Saya gagal dua kali ujian," kenang dia. Gideon pun akhirnya hanya menjadi dokter di Puskesmas Gondokusuman II, Yogyakarta. "Saya melayani pengemis, pengasong, tukang becak," ujar dia.
Nah, ide mendirikan apotek muncul ketika suatu malam ia kesulitan mencari obat karena tak ada apotek yang buka. Dari situ, Gideon ingin memiliki apotek yang buka 24 jam sehari dengan obat yang komplet. "Modalnya sekitar Rp 400 juta. Sebagian dari tabungan hasil lomba fotografi yang pernah saya ikuti," kata dia. Sebelum membuka apotek pertamanya itu, Gideon sama sekali tidak melakukan riset pasar. Ia juga tidak ambil pusing apakah apoteknya nanti diterima atau tidak oleh konsumen. Ia hanya mengandalkan tekad. "Saya tidak punya latar belakang pendidikan ekonomi Manajemen bisnis saya pelajari dari buku-buku," ujar Gideon. Maka, beroperasi jugalah apotek yang bernama Komplet-24 (K-24) pada 2002. Komplet artinya lengkap, dan 24 adalah waktu buka. Dia membuat logo apotek dengan tiga warna yang mewakili keragaman suku dan budaya di Tanah Air. "Hijau menandakan masyarakat dominan muslim, merah berarti kaum nasrani, dan kuning untuk kaum Tionghoa," papar Gideon.
Ternyata dalam perjalanannya, masyarakat menerima kehadiran Apotek K-24. Sejak buka pertama kali pada 24 Oktober 2002 di Jalan Magelang, Yogyakarta, jumlah pengunjung terus meningkat. Keberhasilan apotek pertama itu memacu semangat Gideon untuk membuka apotek baru di tempat lain. Pada 2003, Gideon pun menambah dua outlet K-24 lagi di Jalan Gejayan dan Jalan Kaliurang. Dua tahun kemudian, persisnya pada 24 Februari 2005, ia mulai melebarkan sayap ke Semarang. "Saat itu semua sudah diwaralabakan," kata dia. Gideon mengaku tidak mengira jika potensi pasar apotek di Yogyakarta dan Semarang begitu besar. Ini terlihat dari omzet setiap outlet terus meningkat. Saat ini, setiap gerai berhasil mencatat transaksi antara 350-500 item obat setiap bulan dengan nilai penjualan antara Rp 250 juta-Rp 300 juta. Sudah 115 outlet Tapi, saat itu Gideon tidak mau serakah mengambil keuntungan dari obat yang dijualnya. Padahal, kalau mau ia bisa melahap margin hingga 40% dari omzet. "Saya hanya mengambil sekitar 17% sampai 25% saja. Sisanya biar konsumen yang menikmati," cetus Gideon. Gideon bilang, tempat usaha sebagian apotek K-24 masih berstatus kontrak tiga tahun sampai enam tahun dengan harga sewa antara Rp 17 juta hingga Rp 40 juta per tahun. Namun, untuk memilih tempat, ia benar-benar selektif. Paling tidak ia harus kenal secara pribadi dengan pemilik. Dalam perjanjian, ia menerapkan klausul, jika kontrak tidak bisa diperpanjang, tempat itu tidak boleh untuk usaha yang sama. "Kalau mereka tidak mau dengan klausul ini, kami mundur. Ini gelagat tidak baik," tandas Gideon.
Untuk menjadi terwaralaba K-24, investor harus investasi sebesar Rp 300 juta-Rp 600 juta. Calon terwaralaba yang sudah mempunyai bisnis apotek, tapi gagal, bisa bergabung dengan jaringan K-24. Tentu, kebutuhan dana mereka lebih sedikit ketimbang yang baru memulai. Saat ini Apotek K-24 sudah mencapai 115 gerai di seluruh Indonesia dan sekitar 80 calon investor punya rencana bergabung. Karena itu, sampai akhir 2009, Gideon menargetkan gerai K-24 bertambah hingga 150 outlet.
Bagi Gideon, kesuksesan ini tidak turun dari langit. Sosok Gideon yang memiliki latar belakang ilmu alam secara unik merumuskan sebuah teori sukses. "Rumus sukses itu adalah f(x)= d.c.ba. D artinya doa, c artinya cita-cita, b artinya berusaha, a artinya alat atau modal. Kalau salah satu unsur tersebut tidak ada, coba saja kalikan, pasti hasilnya nol," ujar dia, sambil tersenyum.
Tak Cepat Berpuas Diri Seorang pengusaha tentu tidak boleh cepat puas. Sifat ini pula yang dimiliki Andrian. Menjelang tahun kelima bisnis tendanya, Andrian mulai memikirkan bisnis lain yang dibutuhkan di setiap acara pesta, selain dekorasi dan tenda. Maka, Andrian merealisasikan usaha katering plus restoran jepang. Restoran masakan asal Negeri Sakura itu diberi nama Takigawa, yang berarti air terjun yang mengalir. Andrian membuka gerai pertama Takigawa ini di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Luas gerainya sekitar 350 meter persegi dengan kapasitas tempat duduk untuk 120 orang.
Menurut Andrian, sebagian besar konsumen resto dan kateringnya itu berasal dari kalangan artis papan atas. Sebut saja Olga Syahputra, Krisdayanti, Wulan Guritno, Dedy Codbuzier, Lusy Rahmawati, Mayangsari, dan Thomas Djorgi. Bahkan awalnya, kenang Andrian, ia pernah meminta Dina Lorenza dan Davina untuk menjadi humas Takigawa Tapi, mereka malah tertarik ikut mengelola Takigawa, kata dia. Saat ini, menurut Andrian, Takigawa telah memiliki 20 gerai. Pada tahun ini, Andrian berencana mengembangkan bisnisnya itu dengan pola waralaba hingga ke luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Sudah saya rencanakan sejak 2006. Saya ingin go international, kata Andrian.
Keseharian Gideon kecil adalah menimbang komposisi kue moci. Ini karena baku kue moci sering naik turun. Supaya harga kue moci tidak ikut melambung, komposisinya perlu diatur. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), Gideon bahkan terjun langsung membantu orangtua menjual tepung beras merah keliling Klaten. Setelah masuk SMA Kolese de Britto, Yogyakarta, Gideon tanpa segan mengoordinasi teman-temannya menjual makanan ke calon siswa baru.
Pahitnya kehidupan di masa muda itulah yang membuat Gideon ingin menjadi dokter. Harapannya, dengan menjadi dokter, dia akan bisa membantu ekonomi keluarganya. Gideon sebenarnya ingin masuk fakultas kedokteran di Jakarta atau di Bandung. Namun, niat itu terhalang biaya. Orangtuanya tak sanggup kalau harus membiayai hidup Gideon di kota besar. "Jadi, saya memilih kuliah kedokteran di Yogyakarta saja," ujar Gideon. Karena tekadnya sudah kuat, dalam formulir seleksi ia hanya mengisi satu jenis jurusan. "Dua pilihan jurusan saya biarkan kosong, dan hanya jurusan kedokteran yang saya pilih," tutur Gideon, "Saat itulah air mata saya mengalir."
Setelah lulus kuliah pada 1990, ia tertarik menjadi dokter spesialis mata. Sayang, pemerintah Orde Baru "memangkas" kesempatan bagi warga keturunan China untuk berkembang. "Saat itu warga keturunan dihambat untuk memiliki keahlian khusus. Saya gagal dua kali ujian," kenang dia. Gideon pun akhirnya hanya menjadi dokter di Puskesmas Gondokusuman II, Yogyakarta. "Saya melayani pengemis, pengasong, tukang becak," ujar dia.
Nah, ide mendirikan apotek muncul ketika suatu malam ia kesulitan mencari obat karena tak ada apotek yang buka. Dari situ, Gideon ingin memiliki apotek yang buka 24 jam sehari dengan obat yang komplet. "Modalnya sekitar Rp 400 juta. Sebagian dari tabungan hasil lomba fotografi yang pernah saya ikuti," kata dia. Sebelum membuka apotek pertamanya itu, Gideon sama sekali tidak melakukan riset pasar. Ia juga tidak ambil pusing apakah apoteknya nanti diterima atau tidak oleh konsumen. Ia hanya mengandalkan tekad. "Saya tidak punya latar belakang pendidikan ekonomi Manajemen bisnis saya pelajari dari buku-buku," ujar Gideon. Maka, beroperasi jugalah apotek yang bernama Komplet-24 (K-24) pada 2002. Komplet artinya lengkap, dan 24 adalah waktu buka. Dia membuat logo apotek dengan tiga warna yang mewakili keragaman suku dan budaya di Tanah Air. "Hijau menandakan masyarakat dominan muslim, merah berarti kaum nasrani, dan kuning untuk kaum Tionghoa," papar Gideon.
Ternyata dalam perjalanannya, masyarakat menerima kehadiran Apotek K-24. Sejak buka pertama kali pada 24 Oktober 2002 di Jalan Magelang, Yogyakarta, jumlah pengunjung terus meningkat. Keberhasilan apotek pertama itu memacu semangat Gideon untuk membuka apotek baru di tempat lain. Pada 2003, Gideon pun menambah dua outlet K-24 lagi di Jalan Gejayan dan Jalan Kaliurang. Dua tahun kemudian, persisnya pada 24 Februari 2005, ia mulai melebarkan sayap ke Semarang. "Saat itu semua sudah diwaralabakan," kata dia. Gideon mengaku tidak mengira jika potensi pasar apotek di Yogyakarta dan Semarang begitu besar. Ini terlihat dari omzet setiap outlet terus meningkat. Saat ini, setiap gerai berhasil mencatat transaksi antara 350-500 item obat setiap bulan dengan nilai penjualan antara Rp 250 juta-Rp 300 juta. Sudah 115 outlet Tapi, saat itu Gideon tidak mau serakah mengambil keuntungan dari obat yang dijualnya. Padahal, kalau mau ia bisa melahap margin hingga 40% dari omzet. "Saya hanya mengambil sekitar 17% sampai 25% saja. Sisanya biar konsumen yang menikmati," cetus Gideon. Gideon bilang, tempat usaha sebagian apotek K-24 masih berstatus kontrak tiga tahun sampai enam tahun dengan harga sewa antara Rp 17 juta hingga Rp 40 juta per tahun. Namun, untuk memilih tempat, ia benar-benar selektif. Paling tidak ia harus kenal secara pribadi dengan pemilik. Dalam perjanjian, ia menerapkan klausul, jika kontrak tidak bisa diperpanjang, tempat itu tidak boleh untuk usaha yang sama. "Kalau mereka tidak mau dengan klausul ini, kami mundur. Ini gelagat tidak baik," tandas Gideon.
Untuk menjadi terwaralaba K-24, investor harus investasi sebesar Rp 300 juta-Rp 600 juta. Calon terwaralaba yang sudah mempunyai bisnis apotek, tapi gagal, bisa bergabung dengan jaringan K-24. Tentu, kebutuhan dana mereka lebih sedikit ketimbang yang baru memulai. Saat ini Apotek K-24 sudah mencapai 115 gerai di seluruh Indonesia dan sekitar 80 calon investor punya rencana bergabung. Karena itu, sampai akhir 2009, Gideon menargetkan gerai K-24 bertambah hingga 150 outlet.
Bagi Gideon, kesuksesan ini tidak turun dari langit. Sosok Gideon yang memiliki latar belakang ilmu alam secara unik merumuskan sebuah teori sukses. "Rumus sukses itu adalah f(x)= d.c.ba. D artinya doa, c artinya cita-cita, b artinya berusaha, a artinya alat atau modal. Kalau salah satu unsur tersebut tidak ada, coba saja kalikan, pasti hasilnya nol," ujar dia, sambil tersenyum.
Tak Cepat Berpuas Diri Seorang pengusaha tentu tidak boleh cepat puas. Sifat ini pula yang dimiliki Andrian. Menjelang tahun kelima bisnis tendanya, Andrian mulai memikirkan bisnis lain yang dibutuhkan di setiap acara pesta, selain dekorasi dan tenda. Maka, Andrian merealisasikan usaha katering plus restoran jepang. Restoran masakan asal Negeri Sakura itu diberi nama Takigawa, yang berarti air terjun yang mengalir. Andrian membuka gerai pertama Takigawa ini di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Luas gerainya sekitar 350 meter persegi dengan kapasitas tempat duduk untuk 120 orang.
Menurut Andrian, sebagian besar konsumen resto dan kateringnya itu berasal dari kalangan artis papan atas. Sebut saja Olga Syahputra, Krisdayanti, Wulan Guritno, Dedy Codbuzier, Lusy Rahmawati, Mayangsari, dan Thomas Djorgi. Bahkan awalnya, kenang Andrian, ia pernah meminta Dina Lorenza dan Davina untuk menjadi humas Takigawa Tapi, mereka malah tertarik ikut mengelola Takigawa, kata dia. Saat ini, menurut Andrian, Takigawa telah memiliki 20 gerai. Pada tahun ini, Andrian berencana mengembangkan bisnisnya itu dengan pola waralaba hingga ke luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Sudah saya rencanakan sejak 2006. Saya ingin go international, kata Andrian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar